Islamic Studies: Problem dan Prospek

Moeflich Hasbullah
(Republika, 14 Maret 1994)

a

Sebagai sebuah agama samawi, Islam bukan hanya agama yang berisi sistem keimanan, ajaran-ajaran tentang kehidupan, hukum syari’at dan ritual persembahan, tetapi secara historis dan peradaban juga sudah lama berkembang menjadi disiplin ilmu dan obyek studi yang sangat menarik. Segala hal yang berhubungan dengan studi Islam, dunia Barat menyebutnya Islamic Studies. Signifikansi studi Islam terus berkembang karena agama ini tidak hanya memainkan perannya sebagai ajaran teologi dan spiritual belaka tetapi juga seperti diungkapkan H.A.R Gibb dalam Wither Islam? yang termashur sebagai peradaban yang lengkap: “Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization.” Tentang ini Gerhard Endress menulis bahwa di samping penelitian sejarah, studi Islam telah mantap sebagai sebuah disiplin. Seorang Islamolog terkenal asal Hungaria, Ignaz Goldziher (1850 – 1921) dalam karyanya, Muhammedanische Studien (1889 – 1890) dan karya-karyanya yang lain termasuk monograf, telah menerapkan metode kritik kesejarahan terhadap Islam secara menyeluruh untuk melihat sebuah perkembangan peradaban yang secara esensial diilhami oleh gagsan-gagasan keagamaan terutama Islam (An Introduction to Islam, 1988: 16).

Perkembangan Islam menjadi sebuah disiplin ilmu adalah sebuah perkembangan yang tak mungkin dihindari sebagai kekuatan sejarah. Dunia Barat sejak lama menyimpan hasrat besar untuk memahami eksistensi, kecenderungan, gejolak dan arah agama besar yang sejak lama telah menunjukkan pesonanya ini melalui kajian-kajian serius yang dilakukan para Islamolog, orientalis dan belakangan Islamisis baik yang jujur maupun tendesius, yang agak obyektif atau subyektif, yang agak netral maupun yang bertujuan mendistrosi dan mengaburkan pengertian Islam atau yang “murni demi kepentingan ilmu.” Melalui tradisi kesarjanaan yang panjang di Barat, menurut Edward Said, studi Islam, tradisi akademik tentang ketimuran atau gambaran tentang Timur telah direkonstruksi dan didominasi oleh konsepsi-konsepsi Barat yang ia sebut orientalism.

Melaui orientalisme, Barat telah mengukuhkan dominasi sosial, politik dan kebudayaan selama berabad-abad atas dunia Timur. Karenanya, Timur dianggap ada karena usaha-usaha kesarjanaan Barat. “The Orient was almost a European invetions, and had been since antiquity a place of romance, exotic being, haunting memories and landscape, remarkable experiences,” kata Said (1995: 1) saat membuka karya master piece-nya itu. Said mengatakan bahwa orientalisme paling tidak diartikan dalam tiga pengertian: Pertama, secara budaya dan ideologi, orintalisme mengekspresikan berbagai wacana yang membentuk insititusi, vokabulari, kesarjanaan, imajinasi, doktrin dan bahkan birokrasi kolonial dan model kolonialisme. Kedua, gaya pemikiran yang dikonstruk berdasarkan perbedaan-perbedaan ontologis dan epistemologis antara “the orient” (Barat) dan “the occident” (Timur). Ketiga, merupakan institusi korporasi Barat tentang ketimuran yang memiliki wewenang mendefinisikan timur, memproduksi statement-statement, mengotorisasi pemikiran, mengajarkan dan menguasai diskursus-diskursus tentangnya. Pendek kata, kata Said, orientalisme adalah “a western style for dominating, restructuring, and having authority over the Orient” (1995: 2-3). Penguasaan Barat atas ketimuran ini telah berlangsung beberapa abad dan berganti-ganti. Sejak abad ke-19 hingga akhir Perang Dunia II, Perancis dan Inggris mendominasi Timur dan wacana ketimuran. Sejak Perang Dunia II, Amerika yang mengambil mendominasi dan membuat pendekatan seperti yang dilakukan oleh Perancis dan Inggris (hal. 4).

Dominasi ini baik di Amerika maupun di Eropa tampak pada perhatian Barat yang menaruh minatnya yang tinggi tentang keislaman dan ketimuran. Pada abad ke-20, minat dan dominasi itu ditunjukkan oleh pendirian Departement of Islamic Studies, Religious Studies atau Asian Studies di berbagai universitas di Barat baik di Amerika Serikat, Eropa dan Australia. Universitas-universitas seperti University of California of Los Angelos (UCLA), Chicago University, Princeton University, Columbia University, Harvard University, Yale University, Temple University, Ohio State University di Amerika Serikat; Faculty of Islamic Studies University of McGill di Kanada; SOAS London University di Inggris; Sorbone University di Perancis; Flinders University, Monash University dan Autsralian National Universtiy di Australia, menyediakan dan menyelenggarakan kajian-kajian keislaman dalam berbagai aspeknya atau studi kawasan dunia Islam dengan segala fasilitas perpustakaan yang lengkap dan metodologi yang lebih maju dibanding di negara-negara Muslim sendiri.

Islamic Studies, terlepas dari kecurigaan yang muncul, bertujuan melakukan pendekatan atau kajian-kajian keislaman secara metodologis-akademis dan dari berbagai sudut pandang seperti fenomena kitab suci (kewahyuan), kenabian, doktrin, sosial kebudayaan dan terutama aspek kesejarahan Islam dalam panggung peradaban dunia. Walaupun demikian, distorsi dan bias dari studi-studi mereka tetap saja tak pernah bisa sungguh-sungguh pupus.

Plus-Minus Islamic Studies
Perkembangan Islam menjadi disiplin ilmu agama tak lepas dari sisi-sisi positif negatifnya, terdapat kelebihan juga kekurangannya, bagi studi Islam sendiri maupun bagi pemeluknya.

Pertama, Distorsi Islam
Ini terjadi karena Islamic studies hanyalah pandangan luar, terutama orang Barat yang ahli Islam. Islam dipelajari dan dijelaskan oleh mereka yang bukan penganut Islam dan tidak untuk mencari kebenaran. Motivasi studi Islam oleh non-Muslim ini sangat penting karena akan berpengaruh pada apa yang dilakukannya. Bila tendensinya negatif dan tujuannya untuk mendistorsi Islam, maka yang akan ia lakukan adalah mencari-cari kekurangan dan kesalahan. Berbeda dengan yang tujuannya mencari kebenaran. Ia akan mencari mutiara terpendam apa yang bisa memberikan sesuatu yang dicarinya atau memberikan jawaban atas problem-problem hidupnya. Sedangkan bagi mereka yang mendalaminya murni sebagai studi, keyakinan yang berbeda akan memposisikan pandangan-pandangan dan kesimpulannya yang subyektif. Karena itulah, seahli apapun seorang orientalis dan Islamolog, subyektifitasnya tetap akan kuat.

Hal ini diperkuat oleh sejarah relasi Islam-Barat. Ketegangan dan konflik antara Islam-Barat (Kristen) selama berabad-abad sejak Perang Salib selama 200 tahun (1096-1291) hingga masa kolonialisme modern, tidak akan menghasilkan studi-studi yang benar-benar obyektif. Di sisi lain, Islamic studies yang lebih menekankan aspek-aspek profan dari ajaran Islam akan membentuk pandangan yang tidak mewakili sistem keimanan dan keyakinan. Pada level tertentu, pandangan ini melahirkan kecenderungan distortif karena, dalam tradisi ilmiah, sebuah pembenaran termasuk studi agama hanya menggunakan fakta-fakta historis dan sosiologis. Seperti dilakukan banyak orientalis, Islam hanya diukur dari realitas masyarakat dan sejarahnya, dari perilaku kaum Muslimin bukan dari sumber normatifnya yaitu kitab suci Al-Qur’an.

Kedua, Berkurangnya Prasangka
Namun disisi lain juga merupakan berkah atau blessing in disguise yaitu makin berkurangnya kecenderungan prasangka dan kecurigaan-kecurigaan buruk Barat tentang Islam. Fakta historis telah banyak membuktikan semakin mendalam Islam digali dengan pendekatan-pendekatan ilmiah justru semakin tampak kekuatannya dan seringkali membuat tidak berdaya para pengkaji dan pengkritiknya sendiri. Misalnya, H.A.R. Gibb menjadi simpati pada Islam setelah menjadi ahlinya. Mongomery Watt diam-diam pernah meyakini bahwa Muhammad benar-benar seorang Nabi (Steenbrink, 1992). Berbeda dengan para orientalis lama, Gibb dan Watt diklasifikasikan sebagai orientalis generasi baru yang simpatik terhadap Islam. Demikian juga dengan Roger Geraudy, Annemarie Schimmel dan lain-lain. Lebih dari itu, setelah mempelajari Islam secara sungguh-sunggguh beberapa nama malah berpindah keyakinannya menjadi Muslim. Leopold Weiss berganti nama menjadi Mohammad Asad, Martin Lings menjadi Abu Bakar Sirajuddin, Frithjof Schuon menjadi Muhammad Isa Nuruddin, Di Indonesia, pengalaman itu terjadi pada Martin van Bruinessen dan Johan Hendrik Meuleman.

Ketiga, Bergesernya Pusat Studi Islam ke Barat
Di Barat telah lama muncul profesor-profesor ahli-ahli Islam di bidangnya masing-masing yang wawasannya banyak yang melebihi ulama. Masalahnya hanya satu: keahlian mereka minus iman. Tetapi, ini dipandang tidak menjadi masalah karena mereka tidak mengajarkan “kebenaran Islam” atau “keimanan” tetapi mengajarkan Islam sebagai fenomena sejarah dan sosiologis. Para mahasiswa Islam yang belajar di Barat bukan belajar Islam untuk menjadi ulama, tetapi untuk menjadi modern dalam sikap mental akademik, cara berfikir dan menjadi dewasa dalam tradisi keilmuan. Walaupun bagi mahasiswa Islam yang belajar di Barat kadang-kadang menimbulkan masalah psikologisnya tersendiri, tetapi inilah alasan yang menjelaskan mengapa terjadi gelombang belajar Islam ke Barat. Dan gelombang belajar ke Barat di dunia Islam bukan fenomena baru. Program pengiriman mahasiswa-mahasiswa Islam untuk belajar di Barat pertama kali dilakukan di Mesir pada abad ke-18-19 oleh para pembaharu sepeti Muhammad Ali Pasya (1765-1849) diteruskan oleh Rifa’ah Badawi Tahtawi (1801-1873) yang saat itu melihat kemajuan Barat jauh meninggalkan dunia Islam. Gerakan mereka adalah akar-akar gerakan modernisme Islam yang kelak dikukuhkan oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh pada abad ke-19. Walaupun memang memproduksi masalah-masalahnya sendiri, kekagetan sebagian umat Islam Indonesia melihat para mahasiswa Islam belajar ke Barat hanya karena faktor historical ignorance (ketaktahuan sejarah).

Keempat, Lahirnya Generasi Intelektual dan Cendekiawan Islam
Pendekatan akademik yang ketat, bebas, terbuka dan kritis dalam studi Islam di Barat telah melahirkan generasi baru muda Islam yang kritis kepada sejarah Islam dan lingkungan Islam. Inilah latar belakang kemunculan para intelektual dan cendekiawan Mulim yang menyajikan Islam secara ilmiah setelah mereka kembali belajar di Barat ke negerinya masing-masing. Bila ulama mengajarkan Islam untuk meyakini kebenarannya dan meluaskan dakwah, generasi baru ini melakukannya untuk mengkritisi hal-hal yang dianggap telah mapan dalam masyarakat Islam dan memberikan jalan keluar dari masalah-masalah umat. Inilah yang kemudian melahirkan polemik dan konflik dengan ulama-ulama tradisional. Tidak bisa dipungkiri, stud-studi Islam modern, dengan pendekatan akademik dan tunjangan khazanah`ilmu-ilmu sosial telah melahirkan suatu wawasan keislaman yang ilmiah dan kritis. Dari sisi tradisi keilmuan, hal ini menggembirakan karena umat Islam menjadi terlepas dari belenggu-belenggu berfikir tradisional, konvensional dan irasional. Namun, seperti guru-gurunya para ahli Islam yang minus iman, banyak kalangan intelektual, cendekiawan dan lapisan terpelajar Islam ini cenderung tersekulerkan (secularized) dan terbaratkan (westernized).

Kelima, Menurunnya Otoritas dan Peranan Ulama
Secara konvensional, di masyarakat kita telah mapan pandangan bahwa belajar Islam harus kepada ahlinya, dalam hal ini adalah ulama. Ini pandangan klasik dan tradisional tentang belajar Islam. Di zaman modern, ahli Islam tidak hanya ulama. Ketika Islam menjadi disipilin ilmu, menjadi bidang kajian resmi di perguruan tinggi dan dipelajari secara akademik dan berjenjang dari sarjana hingga doktor, banyak kemudian yang muncul sebagai ahli-ahli Islam. Bermunculanlah profesor-profesor ilmu Al-Qur’an, ilmu hadits, ilmu tasawuf, ilmu hukum Islam, pendidikan Islam, sejarah Islam dan sebagainya. Dalam konteks global, banyak ahli-ahli Islam dari Barat yang lebih menonjol karena mereka mempelajari Islam secara serius melebihi orang-orang Islam sendiri. Studi keislaman mereka pun tidak hanya tentang masyarakat dan sejarahnya. Untuk menjadi profesional dan ahli, mereka juga mempelajari bahasa-bahasa Islam. Tidak aneh bila banyak dari mereka sangat ahli bahasa Arab. Hampir semua orientalis besar adalah ahli bahasa Arab seperti Masignon, Gibb, Watt, Lewis, Schimmel dan lain-lain. Apalagi mereka yang fokusnya sejarah Islam. Mereka mendalami Islam langsung pada kitab-kitab klasik berbahasa Arab yang kadang tidak dimiliki para ulama pesantren.

Keseriusan mereka di sisi lain ditunjang oleh lingkungan tradisi akademik yang mapan di Barat, fasilitas perpustakaan yang lengkap dan dukungan dana yang besar. Tentu keahlian mereka bukan “Islam iman” tapi “Islam ilmu.” Ilmu Islam bukan hanya dominasi orang Muslim untuk menguasainya. Banyak Islamolog, orientalis dan Islamisis lebih menguasai tentang Islam daripada orang Islam sendiri. Buktinya, selain belajar ke Barat dianggap dan dirasakan penting, tradisi studi Islam modern menjadi akrab dengan literatur-literatur Islam Barat. Bahkan menjadi semacam parameter standar keilmiahan. Semakin banyak menggunakan sumber Barat, sebuah kajian dipandang “semakin ilmiah.” Keahlian tentang Islam di Barat, selain sebagian kecil mungkin ada yang didasari oleh motivasi negatif seperti Snouck Hurgronje, pada zaman modern, kebanyakan adalah untuk kepentingan karir. Ilmu keislaman telah menjadi karir tersendiri sehingga banyak ahli-ahli Islam bermunculan. Ini sudah common knowledge dalam tradisi akademik Barat. “The East is a career,” kata Benjamin Disreali seperti dikutip Edward Said. Bahkan dalam nada pejoratif dan sangat merendahkan, Karl Marx mengatakan: “They cannot represent themselves; they must be represented” (Said, 1995: xii).

Tapi harus diakui, gejala karir menjadi ahli keislaman ini bukan hanya di Barat, di Indonesia juga sama. Intelektual dan cendekiawan Muslim adalah mereka yang berkarir dalam ilmu keislaman. Mereka dibayar mahal setiap berbicara tentang Islam dalam diskusi-diskusi dan seminar-seminar. Didirikannya 14 IAIN di Indonesia, 6 diantaranya kini sudah menjadi universitas, jelas merupakan pengembangan sarana karir bagi siapa yang ingin menjadikan Islam sebagai keahliannya. Sekarang orang bisa hidup makmur dan profesional menjadi ahli Islam (dosen, pengacara, konsultan, penerjemah, perbankan Islam, pemandu wisata, presenter, dakwah dan seterusnya). Di masyarakat-masyarakat tradisional, tendensi ini tak pelak menguburkan popularitas ulama sebagai guru-guru agama dan ahli Islam. Walaupun, seperti di Indonesia, pesantren tetap tidak kehilangan fungsi dan pasarnya sebagai tahap awal dan dasar dalam mempelajari ilmu-ilmu keislaman.

Keenam, Sekularisasi dan Desakralisasi Penghayatan Agama
Sebagai sebuah disiplin ilmu dan tradisi ilmiah, kajian Islam harus tunduk pada hukum-hukum atau konvensi keilmuan positivistik: rasional, empiris, sistematis, obyektif, faktual, terbuka dan verifikatif. Memenuhi tuntutan tersebut berarti paradigma Islam harus terus-menerus mengalami repersepsi, kaji ulang atau pembaruan agar sampai pada kebenaran yang mutlak, lewat proses analisis dan fakta-fakta ilmiah. Dari konteks inilah, lahir gerakan-gerakan pembaharuan di dunia Islam yang tak henti-hentinya sejak Ibn Taimiyyah abad ke-14 hingga Nurcholish Madjid di Indonesia abad ke-20. Gerakan pembaharuan lahir dari tiga konteks realitas: pertama, sebagai kritik internal Islam atas praktek-praktek keagamaan tradisional, jumud (tetrtutupnya pintu ijtihad) dan menyimpang (bid’ah, khurafat dan tahayyul) yang dilakukan umatnya. Kedua, sebagai respon para pemikir Muslim atas realitas keterpurukan, keterbelakangan dan ketertinggalan umat Islam atas Barat. Ketiga, sebagai produk dari studi-studi ilmiah Islam yang memakai pendekatan historis-sosiologis atas realitas Islam yang seringkali hasil studi itu berupa kritik dan pembaharuan pemahaman Islam.

Tetapi di sisi lain, Islam sesungguhnya adalah wahyu Allah yang oleh penganutnya diyakini bahwa kebenarannya telah puncak dan mutlak sejak awal kehadirannya. Ia telah dibenarkan secara taken for granted tanpa melalui riset-riset ilmiah oleh para penganutnya sejak masa awal. Anggapan terhadap kebenaran mutlak inilah yang menyebabkan sebagian umat Islam tabu bahkan anti terhadap gerakan pembaharuan yang cenderung liberal dan terkesan merelatifkan kebenaran Islam. Kendati reaksi tersebut didasari oleh kekurangpengertian membedakan dua substansi yang sangat berbeda yaitu ‘Islam’ dan ‘pemahaman Islam,’ tetapi hal itu bukan tanpa alasan. Kaum intelektual Islam (termasuk lapisan mahasiswanya) rata-rata mengalami proses desakralisasi penghayatan keislaman dalam pengalaman psikologis keagamaannya.

Ketika Islam diturunkan ke dalam proses historis dan sebagai ilmu yang harus tunduk mengikuti konvensi keilmuan, berarti ia harus terus-menerus dikembangkan dan dikaji ulang secara bebas tanpa beban dari tekanan-tekanan psikologis, politis dan kultural yang pada gilirannya mengakibatkan proses desakralisasi pada wilayah-wilayah keyakinan yang dianggap mutlak (absolute) dan suci (sacred). Tuntutan verifikasi terus-menerus menuntut keberanian psikologis untuk untuk memprofankan wilayah agama yang telah established dipersepsi sebagai wilayah ukhrawi yang sakral. Klasifikasi antara wilayah ilmu dan keyakinan dalam agama ini, pada kenyataannya belum berhasil difahami secara obyektif dan proporsional oleh mayoritas orang Islam dan sebab inilah yang telah membuat para pembaharu Islam dimana-mana mengalami serangan dan cercaan dari masyarakat luas. Namun juga, pada sementara kalangan, konsekuensi dari pergulatan ini telah menyebabkan menipisnya kadar spiritualitas atau rasa keberagamaan seseorang yang menghayati agama secara lebih rasional dan lebih sebagai disiplin ilmu ketimbang doktrin keimanan. Pada gilirannya, agama lebih dihayati sebagai konsumsi intelektual belaka dan berujung pada fenomena kekeringan spiritual.

Sebenarnya, ini merupakan proses psikologis yang wajar karena paradigma berfikir abstraktif, substantif dan falsafi yang rata-rata dimiliki kaum terdidik dan terpelajar diterapkan dalam memahami agama. Maka agama lebih menjadi sebuah obyek berfikir seperti halnya obyek-obyek keilmuan non-agama. Proses pengembaraan berfikir ini menyeruak kemana-mana dan menyentuh hal-hal yang inti dan esensial dari agama. Mereka mampu menangkap makna dan substansi dibalik formalitas norma-norma sehingga doktrin dan norma-norma agama –yang bagi awam sangat bernilai sakral, lambang kesalehan, dan sesuatu yang harus ditaati tanpa reserve— di mata mereka hanyalah instrumen yang sifatnya relatif dan tidak esensial. Proses penghayatan dan pemahaman seperti ini pada gilirannya berkonsekuensi pada pembentukan sikap otonom seorang penganut agama dari ketergantungannya kepada agama itu sendiri sehingga lambat laun terjadi proses eliminasi otoritas agama dalam diri seseorang. Agama mengalami desakralisasi dan penganutnya mengalami sekulerisasi. Nampaknya, proses psikologis ini banyak terjadi pada sebagian intelektual kita.

Prospek
Demikianlah, ratusan tahun tradisi Islamic studies atau studi Islam telah menyumbangkan peran positif sekaligus menghadirkan masalahnya tersendiri. Studi Islam adalah proses historis yang wajar yang tidak bisa dan tidak perlu dihindari. Islam menjadi disiplin ilmu adalah implementasi dari ajaran-ajaran Islam tentang keharusan mencari dan mengembangkan ilmu tanpa akhir dan tanpa batas. Memang, menjadi problem ketika ilmu-ilmu keislaman bertemu dengan tradisi ilmiah dan akademik Barat yang positivistik. Selama, paradigma positivistik tetap diterapkan dalam studi-studi Islam, problem ontologis, epistemologis dan aksiologis akan tetap muncul. Inilah barangkali signifikansi gagasan Islamisasi ilmu. Islam harus membangun suatu paradigma baru yang terlepas dari positivisme yang ketika didekati secara ilmiah dan akademik, tidak menjadi persoalan bahkan menguatkan kebenaran Islam sendiri. Banyak aspek-aspek keilmuan Islam yang hingga sekarang –yang dalam tradisi positivistik– menjadi problem. Misalnya, konsep ontologis yang harus empiris (tentang ada, being) atau khazanah dalam tasawuf tentang pengalaman spiritual. Bila ide Islamisasi ilmu dipersoalkan, maka umat Islam harus mengkonstruk gagasan lain yang lebih aplikabel dan menjawab tantangan zaman sehingga Islam tetap relevan sepanjang zaman dan tradisi keilmuan Islam semakin menemukan paradigmanya yang lebih mantap dan kuat.

Prospek menemukan paradigma baru ini sebenarnya bisa diharapkan dari tradisi Islamis studies yang sudah semakin established. Studi-studi Islam terutama yang ditekuni oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim seharusnya memikirkan sebuah arsitektur epistemologi baru yang bisa memadukan tradisi positivisme dengan, misalnya, sistem keimanan dan pengalaman spiritual menjadi sebuah entitas baru yang utuh. Bila bukan Islamisasi Ilmu, maka ia harus berupa sebuah konstruksi baru yang dibangun dari khazanah, vokabulari dan perbendaharaan keilmuan Islam sehingga asek-aspek keislaman yang selama ini menjadi persoalan dalam tradisi positivisme menjadi konvensi keilmuan baru yang diterima oleh semua pihak. Semoga!![]