Rekonstruksi Pemikiran Michel Foucault Tentang Sejarah

Moeflich Hasbullah

a

“I have never been a Freudian,
I have never been a Marxist,
and I have never been a structuralist.”
(Michel Foucault)

a

Apa yang bisa ditemukan dari pemikiran Foucault tentang sejarah? Apa yang bisa direkonstruksi? Foucault mengaku bukan seorang sejarawan dan tidak pula merasa sebagai seorang filosof sejarah. Ucapannya ini diperkuat oleh bukti referensial. Ia tidak pernah menulis secara khusus tentang perkembangan sejarah, arah sejarah, kekuatan-kekuatan yang menggerakkan dibalik proses sejarah dan seterusnya seperti dilakukan oleh Karl Marx, Popper, Collingwood, atau Thomas Carlyle misalnya serta para filosof sejarah lainnya. Memang benar Foucault tidak menulis secara khusus tentang sejarah, tetapi ia menulis dalam historical space, historical spectrum atau historical continuum. Dalam ‘ruang historis’ bahwa Foucault menulis di masa silam dengan segala teks yang ia baca; konteks dimana ia hidup, berfikir dan menginterpretasi; interaksi pengetahuan (wacana) dan relasi-relasi kuasa yang mempengaruhinya. Dalam ‘spektrum historis’ bahwa masa hidupnya adalah segmen atau irisan dari –meminjam Braudel- longe-duré atau bentang sejarah yang panjang. Dan, ‘kontinum historis’ karena ia sebagai aktor, agen yang memainkan peran-peran historis dalam episode-episode peristiwa yang terus bergulir.

Foucault tidak menulis tentang sejarah tetapi hampir seluruh pemikirannya adalah tema-tema penting dalam sejarah pengetahuan. Ia tidak menulis tentang sejarah tetapi masa hidupnya sudah menghistoris, sudah berlalu menjadi puing-puing sejarah. Dan jangan salah, puing-puing ide dan gagasan-gagasan Foucault bukan puing-puing yang sudah runtuh, tumbang dan mati, melainkan puing-puing yang masih berdiri kokoh, masih hidup memberikan inspirasi tentang perlunya bersikap kritis terhadap masa silam. Puing-puing yang ternyata memberikan ilham bahwa sejarah telah berlalu tidak melalui sebuah proses yang sederhana, bahwa sejarah harus dicurigai karena penuh dengan hal-hal yang “menyesatkan.” Sejarah adalah sebuah konstruksi sosial yang didalamnya terlibat kekerasan politik, kerakusan kuasa dan kolaborasi antara kekuasaan dengan pengetahuan. Sejarah telah berkembang dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan eksploratif dan eksploitatif. Sejarah harus digali kembali, dibongkar dan ditemukan kepalsuan-kepalsuannya. Inilah yang dilakukan sekelompok ilmuwan dari madzhab ciritical theroy dimana Foucault berdiri sebagai salah satu eksponennya yang bersemangat melakukan rekonstruksi: membongkar dan meredifinisi apa-apa yang sudah dianggap established secara konvensional dalam komunitas ilmiah.

Filsafat Sejarah sebelum Foucault

Beberapa filosof dan sejarawan telah memberikan kontribusi penting baik dalam aspek metodologis maupun materi dalam studi sejarah peradaban manusia, baik yang berhasil mendirikan madzhab pemikiran sejarah maupun yang tidak. Karya-karya mereka berpengaruh luas dalam literatur sejarah. Dari yang paling klasik misalnya Edward Gibbon yang hidup pada abad ke-18 (1737 – 1794). Gibbon menulis buku sejarah termasyhur yang sudah menjadi klasik: History of the Decline and Fall of the Roman Empire sebanyak 6 volume yang diterbitkan tahun 1788. Pemikiran Gibbon masih sangat kuat diwarnai oleh pandangan-pandangan Marxian. Walaupun ia menulis karya master piece-nya tersebut cukup mendalam, tapi, menurut Brian Warmington, “Gibbon bukanlah seorang inovator yang mendirikan aliran pemikirannya sendiri dalam pemikiran sejarah” (1980: 20). Sama dengan Gibbon, demikian juga Leopold von Ranke, sejarawan kelahiran Thuringia Jerman tahun 1795. Ia menulis banyak karya tentang wilayah-wilayah geografis yang luas dan menulis tentang bentangan waktu yang luas pula seperti dapat dilihat dari karya-karya besar yang dilahirkannya, diantaranya adalah A History of England, principally in the seventeenth century (1876), World History, Books of Prussian History (1870), A History of the Latin and Teuton People, History of the Popes (1840) dan yang lainnya. Tapi, Ranke tidak dikenal memiliki madzhab aliran pemikiran sejarah. Dia hanya dikenal sebagai outstandingg historian (sejarawan luar biasa) karena memiliki kemampuan naratif mengagumkan. Ia menulis sejarah lima kerajaan besar melalui pengamatannya terhadap perilaku dan fikiran segelintir orang saja. Menurut Agatha Ramm, dia benar-benar seorang sejarawan naratif (narrative historian) dalam pengertian yang sesungguhnya. “Ranke tidak hanya sebagai sejarawan terbesar yang pernah hidup tetapi juga tidak tertandingi oleh sejarawan lain yang pernah ada” (1980: 36). Keahlian yang paling menonjol dari Ranke dalam menulis sejarah adalah kemampuannya yang luar biasa dalam menggunakan bahan-bahan dokumenter, arsip-arsip, catatan-catatan dan sumber-sumber sejarah. Keahliannya ini sangat berpengaruh di Eropa karena berperan penting dalam penggunaan sumber-sumber sejarah. Lord Acton menyebutnya sebagai “the real initiator of the ‘heroic’ study of records.”

Berbeda dengan keduanya, Hegel adalah filosof sejarah yang mengintrodusir konsep ‘dialektika’ dalam perkembangan sejarah. Hegel membagi filsafat sejarah ke dalam dua jenis: yang formal dan material. Yang formal adalah hubungan antara ‘roh obyektif‘ (realitas obyektif) dengan ‘roh subyektif’ (pikiran rasional). Identifikasi antara keduanya berlangsung terus menerus dan pada hakikatnya merupakan suatu proses sejarah. Sejarah material adalah pergerakan sejarah melalui proses dialektika antara tesis, antitesis dan sintesis. Setelah Hegel, Karl Marx kemudian muncul dengan konsep “materialisme historis” bahwa sejarah bergerak karena konflik kelas antara kelas proletar dan kelas pemilik modal. Kelas proletar terus-menerus memperjuangkan nasibnya memenuhi kebutuhan dasarnya, kelompok kapitalis pemilik modal mempertahankan dominasi dan eksploitasi kelas buruh untuk kepentingan mereka. Inilah, kata Marx, yang berlangsung sepanjang sejarah dan basis inilah yang telah menggerakkan laju sejarah.

Tahun 1949, muncul sebuah buku di Paris yang secara umum dianggap sebagai “the most remarkable historical book to have been written this century” (Burke 1980: 188). Buku itu berjudul The Mediterranean and the Mediterranean World in the Age of Phillip II buah karya Fernand Braudel, seorang sejarawan kelahiran Lorraine, Perancis, tahun 1902. Ia dikenal sebagai perintis mazhab Annales atau histoire globale (sejarah global), yaitu sejarah yang mengungkap kedalaman struktur masyarakat, perilaku-perilaku individu dan berbagai peristiwa-peristiwa kecil yang umumnya tak diperhatikan sejarawan. Braudel adalah sejarawan yang merintis pendekatan geografi dalam studi sejarah yang disebutnya sebagai “geo-history.” Geo-history adalah sejarah yang mengungkap pengaruh gunung-gunung, kayu, batas pantai dan pulau, iklim, rute perjalanan darat dan laut dan seterusnya terhadap peristiwa sejarah. Peristiwa, kata Braudel, tidak akan difahami dengan baik tanpa memahami konteks gejala alamnya, gejala geografisnya, yang melahirkan peristiwa sejarah. Untuk pendekatannya ini Braudel kemudian menyebutnya sebagai ‘sejarah total’ (total history) yang kemudian diikuti oleh generasi penerusnya seperti Denys Lombard dan Anthony Reid.

Secara umum, Bebbington (1979) membagi aliran pemikiran sejarah pada lima aliran. Pertama, aliran siklus yaitu suatu pemikiran perkembangan sejarah yang dipengaruhi oleh pembacaan siklus alam. Sejarah bergerak ibarat siklus cuaca secara deterministik. Inilah aliran pesimistik dalam sejarah. Bangkit dan kejatuhan kerajaan-kerajaan, bangsa-bangsa dan seluruh peradaban dunia bergerak melalui proses siklus ini. Cara pandang seperti ini tampak pada Nietzsche dengan doktrin ‘perputaran abadi’ (eternal recurrence)-nya dan pada Arnold Toynbee serta Ibn Khaldun pada penjelasan jatuh bangunnya peradaban. Ibn Khaldun adalah sejarawan Timur yang jelas-jelas menunjukkan pendekatan ini seperti ia paparkan secara rinci dalam magnum opus-nya: Muqaddimah. Kedua, aliran tradisi “judeo Kristen” atau sejarah Kristen. Disini perkembangan sejarah diyakini sebagai siklus tetapi bergerak secara lurus. Sejarah bergerak secara linier ke arah yang pasti dengan bimbingan Tuhan (divine intervention) dan ujungnya adalah turunnya Yesus Kristus ke bumi. Ini adalah filsafat sejarah optimistik melalui ketokohan milenarian dimana pada akhir sejarah akan datang turun ke bumi seseorang yang akan menyelamatkan umat manusia, dalam hal ini adalah Kristus. Karya-karya ini terlihat misalnya dalam City of God karya Augustine, Joachim, Reinhold Niebuhr, Herbert Butterfield dan Agust Comte. Ketiga, inti proses sejarah adalah konsep ‘kemajuan’ (idea of progress). Aliran ini lebih menonjolkan peran aktor sejarah yaitu manusia. Ketimbang melihat peranan Tuhan, pendukung aliran ini lebih melihat manusia sebagai agen perkembangan sejarah. Pemikiran seperti diinisiasi oleh Comte, kemudian dikembangkan oleh J.H. Plumb dan Sidney Pollard. Keempat adalah aliran historisisme. Historisisme muncul sebagai reaksi atas ‘idea of progress’ yang berkembang di Perancis dan Jerman abad ke-18. Historisisme menolak bahwa sejarah berkembang linier dan berargumen bahwa ‘motif utama’ (central motif) adalah ide dimana setiap negara dan bangsa menikmati perbedaan kebudayaannya. Sejarah adalah pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda. Tugas sejarawan adalah memahami variasi kebudayaan dengan pendekatan empatik. Disini terdapat Giambattista Vico, Herder, B.G. Niebuhr juga Ranke dan kemudian Collingwood dalam bukunya The Ide of History. Kelima adalah sejarah Marxis dengan idenya dasarnya ‘materialisme historis.’ Bagi Marx, sejarah proses sejarah diciptakan oleh manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu ekonomi. Marxisme banyak dipengaruhi oleh filsafat Hegel. Christopher Hill dan E.P. Thompson adalah diantara pewaris yang mengembangkan perspektif Marxsian dalam sejarah (Lihat Bebbinton 1979: 17 -20).

Pandangan Sejarah Foucault: Beberapa Gagasan Inti

Dibandingkan dengan para filosof sejarah yang secara sepintas dijelaskan dimuka, kedudukan Foucault sama sekali berbeda. Ia sebetulnya bukan seorang yang berada dalam jajaran filosof sejarah karena Foucault tidak secara khusus menulis tentang perkembangan sejarah, karakteristiknya dan kekuatan dibalik perkembangan historis. Dalam konsepnya tentang “history of the present,” ia sedikit menggagas bahwa sejarah harus ditulis dalam perspektif masa kini dan untuk kepentingan masa kini. Selebihnya, Foucault menulis tema-tema sentral dalam sejarah yang dilihatnya secara kritis. Pemikirannya menggoyahkan semua kemapanan pengetahuan terutama konsep-konsep yang secara konvensional dipegang komunitas ilmiah hingga kini. Adalah menarik untuk melihat hubungan antara pemikiran Foucault dengan sejarah. Pemikirannya tentang banyak hal dalam sejarah begitu penting, sehingga warna pemikiran Foucault bisa diidentifikasi untuk melakukan sebuah rekonstruksi atas pemikiran sejarahnya.

Foucault adalah seorang filosof Perancis yang menonjol. Sebelum Foucault, intelektual yang menonjol di Perancis saat itu adalah Jean Paul Sartre. Setelah Sartre ada empat orang yang saling “berebut pengaruh” dalam dunia pemikiran kritis di Perancis yaitu Roland Barthes (kritikus sastra), Jacques Lacan (psikiatris radikal), Claude Levi-Strauss (Antropolog Strukturalis) dan Michel Foucault sendiri. Karya-karya Foucault banyak mempengaruhi secara kuat disiplin yang luas terutama pada lapangan kritik sastra, gender studies dan kriminologi. Gagasan-gagasan Foucault sendiri sangat luas menyangkut filsafat, sosiologi, sejarah, psikologi, cultural studies, kedokteran, gender, sastra dan lainnya.

Satu hal yang menonjol dari keseluruhan pemikiran Foucault adalah bahwa orang kesulitan melakukan kategorisasi atas pemikirannya ke dalam bidang-bidang tertentu. Dengan kata lain, sangat sulit mengenali sosok Foucault dalam disiplin ilmu dan pemikiran konvensional. Ia berfikir ke kedalaman dasar-dasar paradigma ilmu pengetahuan yang bersifat filosofis dan setelahnya hampir mustahil menempatkannya dalam block of knowledge yang ada. Hal ini bisa difahami karena Foucault sendiri mendefinisikan filsafat sebagai,

“the ciritical work that though brings to bear on itself… in the endeavor to know how and to what extent it might be possible to think differently, instead of legitimating that is already known” (1985: 9).

Foucault tidak berbicara secara khusus tentang ilmu sejarah dan filsafat sejarah. Hubungannya dengah sejarah, ia lebih suka disebut sebagai “historical observer” (pengamat sejarah). Model befikir historisnya ini sesuai dengan apa yang sudah dilakukannya yaitu pendekatan arkeologi seperti dalam bukunya “Archeology of knowledge.” Tetapi, ‘pengamat sejarah’ ini pun mesti difahami dalam pengertian lain yang berbeda, bukan sejarah konvensional yang lurus. Foucault tidak suka pemahaman sejarah yang lazim, yang berorientasi pada masa lampau, yang sudah lewat, menyangkut hal-hal yang sudah mati dan kurang bermanfaat. Bila para filosof sejarah selama ini membicarakan sejarah sebagai sebuah kajian khusus seperti membahas watak perkembangan sajarah, teori sejarah, arah dan kecenderungannya, kekuatan-kekuatan di balik peristiwa sejarah dan sebagainya, Foucault sama sekali berbeda. Ia melihat sejarah sebagai tema-tema yang dilihat secara kritis. Foucault tidak menulis “tentang sejarah” (about history) tetapi menulis banyak hal “dalam perkembangan sejarah” (in history). Dengan kata lain, ia tidak membicarakan metodologi sejarah melainkan materi sejarah. Dari pengamatan dan analisisnya yang mendalam tentang berbagai hal dalam sejarah, kemudian melahirkan konsep-konsep kunci untuk memahami pemikiran Foucault. Tema-tema kritis penglihatannya adalah tentang “episteme” (sistem wacana), “power” (kekuasaan), sexuality (seks) dan lain-lain. Mengapa tema-tema ini menjadi menonjol dalam sistem pemikiran Foucault, karena pemahamannya terhadap tema-tema itu sangat orisinil, melabrak konvensi para filosof sebelumnya.

Tulisan Foucault sangat luas menyangkut berbagai disiplin sehingga sempat menggoyahkan sendi-sendi pengetahuan manusia (human science). Oleh keterbatasan tulisan ini, dibawah ini diuraikan beberapa intinya saja dari gagasan Foucault yaitu sejarah masa kini, geologi, epistem dan kekuasaan. Beberapa konsep tersebut diuraikan secara singkat. Namun demikian, mudah-mudah memadai untuk merekonstruksi pemikiran Foucault terutama hubungan dengan pemikiran sejarah.

Sejarah Masa Kini dan Geneologi

Bagi Foucault, sejarah itu bukanlah masa lalu melainkan bersifat masa kini (history of the present). Ia tidak tertarik dengan sejarah masa lalu yang konvensional, mengumpulkan data sebanyak-banyaknya untuk menggambarkan masa silam selengkap-lengkapnya. Dalam pembahasannya tentang present, Foucault menyebutkan bahwa studi sejarah harus selalu memiliki keterkaitan dengan masa kini. Hal itu jelas karena masa kini penuh dengan persoalan yang bisa dipecahkan dengan memahami sejarahnya pada masa silam. Dengan demikian, sebenarnya menulis sejarah itu untuk masa kini bukan untuk masa silam. Perspektfinya pun harus masa kini karena untuk kebutuhan masa kini. Tetapi Lechte mengungkapkan pertanyaan: “Jika masa kini mengendalikan perhatian dan minat sejarawan, apakah tidak berbahaya yaitu masa lalu akan mengarahkan masa kini?” Atas pertanyaan serupa ini, Foucault justru memberikan respon tentang bahayanya sejarah yang diusung oleh penganut idealisme:

“Sejarah akan mengarahkan masa kini bila ide tentang sebabnya (notion of cause) dominan masalah-masalah material, dan jika kontinuitas mendominasi diskontinuitas yaitu pada level pengungkapan praktis. Tetapi, kemudian, fakta bahwa masa kini selalu merupakan proses transformasi yang berarti bahwa masa lalu harus terus-menerus direevaluasi; menulis sejarah masa lalu adalah melihat sesuatu yang baru, sebagaimana para analis melihat peristiwa baru dalam biografi seseorang dalam rangka pengalaman psikoanalisis. Masa lalu, pada prinsipnya, mengungkapkan makna baru dalam konteks persitiwa-peristiwa baru. Hal ini akan menghindari kemungkinan adanya hubungan kausalitas yang sederhana yang diungkapkan antara masa lalu dan masa kini. Bahaya historisisme muncul ketika disadari bahwa masa lalu tidak bisa dipahami secara murni dalam konteksnya sendiri, karena itu, sejarah selalu adalah sejarah masa kini” (Lechte 1994 : 111).

Berkaitan dengan ide sejarah masa kini dan masa lalu yang harus selalu direevaluasi, Foucault menggagas konsep tentang ‘geneologi’ (genealogy). Geneologi adalah sejarah yang ditulis untuk kepentingan-kepentingan masa kini yaitu hubungannya dengan komitmen terhadap masalah-masalah kontemporer. Sejarah perlu memasuki peristwa-peristiwa masa kini. Dengan demikian, geneologi adalah ‘sejarah efektif’ (effective history) yang ditulis sebagai keterlibatan kontemporer. Terinspirasi oleh Bachelard, Canguilhem dan Cavailles, Foucault menyebutkan bahwa sejarah selalu merupakan geneologi dan sebuah intervensi, dengan demikian kerangka pengetahuan dan model pemahamannya pun selalu berubah (Lechte, 112). Epsitemologi adalah yang mempelajari perubahan-perubahan ini sebagai “the grammar of knowledge production” dan diungkap melalui kerja sains, filsafat, seni dan literatur. Epistemologi juga adalah cara menghubungkan peristiwa-peristiwa material dengan fikiran atau ide.

Episteme: Kunci Perkembangan Sejarah

Kunci pemikiran Foucault tentang sejarah adalah dalam istilah yang ia sebut sebagai “epistemee” (sistem wacana). Foucault dengan kritis melihat bagaimana ilmu-ilmu berkembang dalam sejarah secara sistemik (keseluruhan sistem berfikir) dalam suatu periode, kemudian berubah secara menyeluruh dalam tahapan periode yang lain, kadang-kadang secara cepat (Leksono 2002: 22-31). Ilmu pengetahuan ternyata berkembang dan established tidak bertumpu pada tokoh-tokoh pemikir yang gagasan-gagasannya diikuti banyak orang. Setiap pengetahuan kita berkembang merupakan jalinan yang luas dan rumit antara berbagai kepentingan dan kepekaan mereka mengenai tatanan rasional. Tidak ada suatu ide/gagasan yang dicetuskan oleh seseorang atau sekelompok ilmuwan kemudian menjadi mapan di masyarakat tanpa adanya saling keterkaitan yang menyuluruh dengan aspek-aspek lain dalam sebuah sistem sosial. Sistem keseluruh berfikir manusia itulah yang disebut Foucault sebagai “episteme.”

Dalam setiap persoalan yang ia amati dalam sejarah selalu dilihat dalam kontek hubungan-hubungan yang rumit yang terjalin dengan unsur-unsur lain. Misalnya tentang konsep “kebenaran.” Untuk sampai pada sebuah “kebenaran” yang mapan yang dipegang oleh masyarakat dalam periode tertentu, selalu terlibat berbagai unsur yang meneguhkan kebenaran itu: politik, kekuasaan, kepentingan, gender, pemikiran, ideologi dan sebagainya. Episteme ini berpengaruh terhadap apa disebut dengan ‘kebenaran’ melalui bahasa. “Discours,” “penalaran” atau “uraian” adalah bahasa yang sering diarahkan pada kebenaran. Discours ini terutama adalah penalaran ilmiah, tetapi bahasa sehari-hari seperti rapat-tapat, pidato politik dan diskusi-diskusi juga merupakan ‘discours.’ Bagi Foucault, masa silam terdiri dari discourse-discours ini yaitu lautan artikulasi, pembicaraan dan penalaran manusia, samudera kata, kalimat dan ungkapan bahasa yang dipakai dalam berbagai bentuk situasi dan kesempatan yang beraneka ragam dalam kehidupan sehari-hari (Ankersmit, 1987: 309). Dalam sejarah penalaran sehari-hari yang melimpah itu, dalam keseluruhan berfikir manusia itu, Foucault melihat ada sebuah kekuatan yang mengatur yang disebut ‘episteme.’

Seperti diuraikan Ankersmit (1987: 310-312), ada tiga karatkteristik ‘episteme’-nya Foucault: Pertama, Episteme menentukan bagaimana cara kita melihat dan mengalami kenyataan. Cara kita mengalami kenyataan menentukan bagaimana kita melihat kenyataan. Kenyataan itu subyektif dan sering tidak disadari. Dengan demikian, kenyataan itu tidak sederhana dan tidak begitu pasti seperti yang kita duga. Ini berarti, episteme tidak disadari oleh orang yang mengalaminya. Ketika episteme disadari, yaitu kita sadar melihat realitas dengan perspektif tertentu, maka akan terbukalah untuk melihat kenyataan dengan sudut pandang yang lain. Kalau ini terjadi maka menjadi dibuat-buat, kita melihat realitas pun dibuat-buat bukan oleh kesadaran asli sesungguhnya yang dimiliki seseorang. Kedua, karakter episteme yang lain adalah adanya larangan-larangan, penyangkalan, pengabaian dan penolakan. Episteme itu mengendalikan dan mengontrol pengetahuan manusia melalui tiga macam pengecualian: tabu, kegilaan dan ketidakbenaran. Identitas episteme itu berada dalam hal-hal yang tidak disadari seperti dalam larangan. Dari sinilah episteme mengungkapan identitasnya yang asli. Karena itulah Foucault tertarik pada fenomena kegilaan (madness), kejahatan dan perilaku seksual yang aneh. Setiap zaman terdapat episteme-nya tersendiri tetapi tidak bisa dilacak karena tidak disadari itu. Tetapi walaupun tidak bisa dilacak (untracable) tetapi bisa disusun kembali dengan cara bertindak “dari luar ke dalam”: dari larangan ke yang benar, dari tabu ke kebolehan, dari kegilaan ke normalitas. Ketiga, dalam episteme terdapat hubungan antara bahasa dengan realitas. Umumnya, bahasa dipandang sebagai medium yang transparan, bahasa adalah refleksi dari kenyataan. Bagi Foucault tidak begitu. Bahasa selalu ditentukan oleh episteme yaitu bentuk-bentuk penggunaan bahasa yang dipakai untuk merumuskan kebenaran. “Sama seperti episteme mengatur dan menyaring pengetahuan kita mengenai kenyataan, demikian juga bahasa. Bahasa bukanlah medium yang transparan, bukanlah pencerminan dari kenyataan. Bahasa adalah alat yang dipergunakan episteme, guna mengatur dan menyusun kenyataan, sesuai dengan tabiat episteme itu sendiri” (Ankersmit, 312). Dengan demikian, Foucault melihat jelas bahwa bahasan dan pisteme tidak pasif melainkan aktif. Keduanya berusaha untuk merubah kenyataan bahkan menguasai kenyataan.

Perspektif Baru tentang Kekuasaan

Konsep kekuasaan (power) merupakan hal yang sentral dalam pemikiran Foucault. Kekuasaan secara tradisional difahami sebagai kemampuan mempengaruhi orang atau pihak lain untuk mengikuti kehendak si pemilik kekuasaan. Atau, daya pikat atau pengaruh yang dimiliki seseorang atau lembaga untuk memaksakan kehendaknya pada yang lain. Seluruh ilmu sosial hampir seluruhnya memakai pengertian ini secara konvensional seperti sosiologi, sejarah dan politik. Kekuasaan dipandang bersifat represif, koersif dan opresif. Hingga saat ini begitulah kita memandang kekuasaan.

Foucault menyumbangkan satu perspektif yang sangat orisinal dalam membaca dan memahami kekuasaan. Baginya, kekuasaan sesungguhnya tidak sesederhana seperti apa yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial selama ini. Bagi Foucault kekuasaan itu menyebar dimana-mana (“power is omnipresent”), meresap dalam seluruh jalinan relasi-relasi sosial, kekuasaan tidak berpusat pada individu-individu melainkan bekerja, beroperasi dalam konstruksi pengetahuan, dalam perkembangan ilmu dan pendirian-pendirian lembaga. Karena ia menyebar dan bekerja mengendalikan banyak orang, komunitas, kelompok, kepentingan dan sebagainya, maka sifatnya menjadi produktif –bukan represif— dan memiliki kekuatan menormalisasikan hubungan-hubungan masyarakat. Pandangan kekuasaan yang represif sangat kental dalam pemikiran Marx terutama ketika berwujud menjadi ideologi kelas. Antonio Gramsci sudah agak variatif mengembangkan gagasan Marx dengan konsepnya “hegemoni,” tetapi Foucault lebih subtil lagi dari Gramsci. Misalnya, seperti dikutip Haryatmo dari Surveiller et punir (1975), bagi Foucault “kekuasaan tidak hanya dijalankan di dalam penjara, tetapi juga beroperasi melalui mekanisme-mekanisme sosial yang dibangun untuk kesehatan, pengetahuan dan kesejahteraan” (2002: 9). Dari Foucault pandangan positif tentang kekuasaan mulai muncul.

Kekuasaan itu menyebar sebagai konsekuensi pandangan bahwa kekuasaan tidak berpusat pada individu-individu atau negara. Kekuasaan menyebar melalui “seluruh struktur tindakan yang menekan dan mendorong tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, rayuan, paksaan dan larangan” (Haryatmo, 11). Dengan demikian, kekuasan bukanlah sebuah represi. Secara tidak langsung, pandangan Foucault ini adalah kritik terhadap Hobbes dan Locke (bahwa kekuasaan dijalankan melalui kekerasan atau kontrak sosial), terhadap Marx dan Machiavelli (pertarungan kekuatan), dan terhadap Freud dan Reich (represi yang menekan), juga terhadap pandangan kekuasaan sebagai dominasi kelas dan manipulasi ideologi (Marx). Kekuasaan tidak unlocalised karena ia tidak bertumpu pada negara, partai politik, kepemimpinan, melainkan merupakan hubungan antar komunikasi, jaringan sosial, tatanan disiplin, meresap dan melekat pada setiap perbedaan dan kehendak individu dan kelompok. Kekuasaan itu beroperasi bukan dimiliki, kekuasaan itu strategi perkembangan sosial ketimbang alat kekuatan. Adalah menarik apa yang disebut Foucault sebagai “micro pouvoirs” atau “gugusan-gugusan kekuasaan lokal yang tersebar” (Haryatmo, 12) yaitu keluarga, pabrik, sekolah, rumah sakit, penjara, birokrasi dan sebagainya. Melalui “kaki tangan-kaki tangan inilah” kekuasaan itu melakukan reproduksi dan bekerja dalam setiap lapisan sosial.

Sebagai tokoh yang menonjol dalam jajaran madzhab teori kritis, Foucault juga menyoroti hubungan kekuasaan dengan pengetahuan. Pandangannya tentang kekuasaan seperti di atas juga berakibat pada pembongkaran kolaborasi antara pengetahuan dengan kekuasaan, seperti halnya Habermas menemukan ketakterpisahan antara ideologi dan kepentingan. Kekuasaan juga inklusif dalam kehendak untuk mengetahui. Kehendak untuk mengetahui ini terumuskan dalam pengetahuan. Kekuasaan pengetahuan terkonsentrasi dalam kebenaran-kebenaran pernyataan-pernyataan ilmiah. Contoh jelasnya adalah masyarakat ilmiah dituntut untuk mentaati konvensi-konvensi ilmiah karena konvensi memiliki otoritas. Disinilah terlihat adanya hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan. Pengetahuan dibentuk oleh kekuasaan dan kekuasaan menghasilkan pengetahuan. Keduan pernyataan ini bisa dibulak-balik dengan esensi yang sama: adanya hubungan kepentingan dan fungsional antara keduanya. Sesungguhnya masih banyak pembahasan Foucault tentang kekuasaan yang tidak mungkin diuraikan semuanya disini karena keterbatasan makalah ini. Tetapi, dari uraian diatas sudah tertangkap inti gagasannya tentang kekuasaan yang tidak berpusat pada individu atau negara, tapi sesuatu yang bergerak dalam jaringan sosial. Kekuasaan tidak negatif.

Bila dibandingkan dengan konsep kekuasaan klasik abad ke-16 hingga 18, terdapat jelas beberapa perbedaannya yang kontras dengan apa yang dijelaskan Foucault:
1. Dalam zaman feodal kekuasaan bersifat agraris yaitu berhubungan dengan kepemilikan dan penguasaan tanah sebagai sumber ekonomi, juga bersifat industrial dalam pabrik-pabrik. Hubungannya adalah atas-bawah, represif dan menindas untuk kepentingan penguasaan, terutama kapitalisme. Kekuasaan dijalankan dalam rangka pengawasan. Dalam masyarakat modern, kekuasaan diwujudkan dalam bentuk kedaulatan, hukum dan undang-undang dengan pemaksaan disiplin untuk membentuk stabilitas dan kohesi sosial.
2. Hubungannya dengan organisasi sosial dan politik, kekuasaan tidak berpusat pada negara atau penguasa politik. Karena kekuasaan tidak berpusat pada negara sebagai struktur masyarakat tertinggi, maka sebaliknya, kekuasaan berarti menyebar dalam relasi sosial.
3. Bila dalam wacana klasik, kekuasaan adalah akibat dari adanya persaingan, perang dominasi dan perebutan sumber-sumber bahkan nafsu manusia untuk menguasai orang lain, bagi Foucault, “kekuasaan adalah akibat langsung dari adanya pemisahan, ketidaksamaan, dan ketidakseimbangan (deskriminasi)… kekuasaan merupakan situasi intern adanya perbedaan. Dalam kenyataan perbedaaan ini dibentuk dan berjalan di tempat kerja, keluarga, institusi, berbagai pengelompokkan” (Haryatmo, 11).

Posisi Foucault dalam Pemikiran Sejarah

Dari uraian di atas, hubungan dengan pemikiran sejarah, posisi Foucault dapat disimpulkan sebagai berikut.

Pertama, Sumbangan Foucault terhadap filsafat sejarah –walaupun banyak implikasi metodologisnya yang penting– lebih kepada kajian-kajian kritis dan mendalam tentang tema-tema (sejarah material).

Kedua, pandangan Foucault tentang sejarah lebih subtil, lebih halus, lebih pada hal-hal yang tak teramati oleh para filosof sebelumnya. Sama seperti ketika Fernand Braudel melukiskan pentingnya sejarah geografis: “Terlalu banyak peristiwa penting yang tak teramati di bawah aliran tren sosial.” Refleksi mendalamnya ini hampir mewarnai seluruh analisisnya seperti tentang episteme, kekuasaan dan seterusnya.

Ketiga, Foucault telah merintis pandangan yang lebih maju dan lebih rumit dari para pemikir sebelumnya seperti Karl Marx misalnya. Marx melihat kekuasaan secara konkret yaitu dari hubungan kekuasaan dalam bidang sosial ekonomi (konflik ekonomi antara kelas proletar dan kelas kapitalis). Sedangkan Foucault melihat lebih dalam yaitu melihat kekuasaan dari cara kita berbicara mengenai kenyataan, dari cara bertindak dan memperlakukan sesuatu. Misalnya, cara kita berbicara mengenai sakit jiwa (madness), penjara, abnormalitas dan sebagainya menentukan cara kita memperlakukan mereka. Kekuasaan berperan dalam proses-proses sosial yang orang tidak menyadarinya. Ini adalah sumbangan penting terhadap sejarawan dalam hal melihat dan menganalisis struktur-struktur kekuasaan. Gagasan-gagasan Foucault menyumbangkan pendekatan penting dalam sejarah intelektual yang konvensional dan tradisional.

Keempat, keseluruhan analisis sejarah Foucault hampir selalu merupakan pembongkaran atas realitas tersembunyi dalam sejarah yaitu kolaborasi pengetahuan dengan kekuasaan. Pengetahuan hingga menjadi establsihed dalam komunitas ilmiah dan diikuti banyak pengikut ternyata tidak sederhana hanya kekuatan ide saja, melainkan merupakan keterlibatan banyak aspek, faktor dan aktor dalam sebuah episteme terutama melalui kekuasaan.

Kelima, ide dan gagasan-gagasan Foucault hampir seluruhnya orisinal dalam melihat masalah yang dia kupas. Orisinalitasnya membuat pemikirannya lebih dalam dan lebih rumit dari teori-teori yang ada selama ini.
Keenam, inti dari seluruh kesimpulan di atas, penggambaran tentang sosok Foucault diantara sejarawan lain adalah, ia sendiri sesungguhnya seorang sejarawan, tapi karena ia tidak suka sebutan itu –ia adalah seorang filosof yang mengkritisi sejarah dengan menelanjangi masa lalu sedemikian rupa, termasuk kepalsuan-kepalsuannya—mungkin lebih cocok disebut atau ditempatkan sebagai “filosof paradigma,” dan diantaranya adalah paradigma sejarah. Penolakannya disebut sebagai sejarawan atau filosof sejarah karena mungkin menyempitkan fikirannya hanya pada bidang sejarah. Pada kenyataannya, ia mengobrak-abrik bukan hanya sejarah tetapi hampir seluruh paradigma ilmu pengetahuan.

Sebagai konsekuensi dari kerja pemikiran yang fundamental, pembongkaran Foucault atas dasar-dasar pengetahuan membuatnya sulit dikategorikan ke dalam disiplin pengetahuan tertentu –ia sendiri tidak suka dengan pendisiplinan ketat semacam itu. Pemikirannya yang “memborbardir” kesana-kemari: sejarah, psikologi, kebudayaan, gender, antropologi, politik dan seterusnya, membuat disiplin ilmu, dalam pandangannya, menjadi relatif dan sulit dipertahankan.[]

____________________________

KEPUSTAKAAN

Ankersmit, F.R., Refleksi tentang Filsafat Sejarah, Gramedia Jakarta, 1987.
Bebbinton, David, Pattern of Histories, Inter Varsity Press, 1979.
Burke, Peter, “Fernand Braudel,” dalam John Cannon (ed.), The Historian at Work, George Allen&Unwim, London, 1980, hal. 188 – 201.
Cannon, John (ed.), The Historian at Work, George Allen & Unwin, London, 1980.
Cobley, Paul dan Litza Jansz, Semiotika For Beginners, Mizan, Bandung, 2002.
Fillingham, Lydia Alix, Foucault For Beginners, Writers and Readers Publishing, INC, New York, 1993.
Haryatmoko, ‘Kekuasaan Melahirkan Antikekuasaan, Majalah Basis, Nomor 01-02 Januari-Februari, 2002.
Karlina Leksono, “Berakhirnya Manusia dan Bangkrutnya Ilmu-ilmu,” dalam Majalah Basis, No. 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002.
Lechte, John, Fifty Key Contemporary Thinkers. From structuralism to posmodernity, Allen&Uniwim, London, 1994.
Palmer, Donald D., Structuralism and Poststructuralism For Beginners, Writers and Readers Publishing, INC, New York, 1997.
Ramm, Agatha, “Leopold von Ranke,” dalam John Cannon (ed.), The Historian at Work, George Allen&Unwim, London, 1980, hal. 36-54.
Warmington, Brian, “Edward Gibbon,” dalam John Cannon (ed.), The Historian at Work, George Allen&Unwim, London, 1980, hal. 19-35.